PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
|
(PASAL 28B - HAK ASASI MANUSIA)
DISUSUN OLEH :
--FERDIAN SAPUTRA--
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2013
---------------------------------------------------------------------------------------------
| KATA PENGANTAR |
Puji Syukur Kehadirat Allah Yang Maha Esa, Syukur
Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada
Allah STW, yang karena bimbingan-Nya lah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah
makalah “Hak dan Kewajiban Warga Negara” yang membahas tentang "Hak Asasi
Manusia Pada Pasal 28 B"
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan pada mata kuliah ini.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan pada mata kuliah ini.
BAB I
|PENDAHULUAN|
HAM
pada dasarnya adalah hak-hak yang bersifat kodrati. Misalnya hak untuk hidup,
hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk beribadah, dst. Dengan demikian, HAM
adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta.
HAM mencakup 2 jenis
hak yang mendasar/fundamental yaitu HAK PERSAMAAN, misalnya hak untuk
diperlakukan tanpa diskriminasi, dst.
·
HAK KEBEBASAN, misalnya kebebasan untuk
beribadah, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kebebasan untuk berserikat,
dsb.
Meskipun
merupakan konsep universal, pemahaman tentang HAM bersifat relatif. HAM
dipahami secara berbeda-beda karena dipengaruhi oleh ideologi/landasan
pemikiran/kebudayaan yang berbeda-beda pula, misalnya sebagai berikut (Abdullah
Yazid dkk, 2007):
Di Indonesia, HAM dianggap sebagai
anugerah Tuhan YME, sehingga sumber HAM di Indonesia adalah Tuhan YME. Hal itu
karena menurut ideologi kita (Pancasila) Tuhan adalah penyebab pertama (kausa
prima), sehingga kehidupan manusia dan segala aspeknya, termasuk HAM, bersumber
pada Tuhan.
Di Eropa Barat, HAM lebih dianggap
sebagai masalah kebutuhan individu di mana penegakkan HAMadalah untuk
melindungi individu.
·
Di Rusia (negara sosialis), HAM
dianggap sebagai pemberian negara di mana negaralah yang menetapkan apa-apa
yang menjadi hak dari warga negara, sehingga HAM di sana berarti pembatasan HAM
oleh pemerintah. Karena tujuan di negara sosialis adalah kesejahteraan ekonomi
maka HAM bukan persoalan pokok.
BAB II
|PEMBAHASAN|
|HAK ASASI MANUSIA – PASAL 28 B|
Pasal
28 UUD 1945 merupakan pasal yang membahas atau menekankan tentang hak-hak
manusia secara umum dan hak warga negara secara umum. Di dalam pasal 28B ayat 1
dijelaskan bahwa tiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah dimaksud adalah perkawinan
sesuai hukum agama dan negara.
Bila
dalam agama (Islam), perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah disetujui
oleh mempelai pria dan wanita beserta keluarganya, ada saksi, ada wali, penghulu.
Sedangkan bila ditinjau dari segi hukum negara, perkawinan telah sah jika telah
sesuai dengan aturan agama ditambah telah dicatat di KUA setempat.
Saat
ini sedang ramai tentang RUU Perkawinan yang salah satunya akan mempidanakan
para pelaku nikah siri. Ini tentu menjadi polemik karena akan terjadi benturan
antara aturan agama dan negara. Di sisi agama, nikah siri diperbolehkan demi
menjauhkan perbuatan selingkuh atau zina. Karena dalam Al-Qur’an dan
sunnah tidak ada kewajiban melaporkan perkawinan kepada seorang pejabat. Yang
wajib dalam islam adalah menyiarkan perkawinan kepada masyarakat umum, bukan
melaporkan secara khusus kepada seorang pejabat. Tentu RUU Perkawinan yang
bakal mempidanakan para pelaku nikah siri akan mendapat banyak kecaman oleh
banyak masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Walaupun
tidak banyak juga masyarakat yang mendukung disahkan RUU tersebut dengan alasan
untuk menghargai atau menjaga perasaan bila seorang suami atau istri mengetahui
pasangannya telah melakukan nikah siri. RUU Perkawinan tersebut juga dibuat
sebenarnya demi menjaga salah satu hak-hak warga negara yaitu memperoleh
ketenangan dan ketentraman dalam hidupnya. Karena perasaan seorang suami atau
istri pasti akan sakit jika mengetahui pasangannya telah melakukan nikah siri.
Itu
ditambah dengan anak yang lahir dari hubungan nikah siri yang akan kesulitan
dalam mengurus segala macam administrasi karena kita ketahui anak yang lahir
dari hubungan nikah siri tidak mendapatkan akta kelahiran. Kita sebagai warga
negara yang baik dan taat hukum baik negara maupun agama hendaknya melakukan
perkawinan yang sesuai dengan aturan agama (Islam) dan aturan negara.
Perkawinan merupakan hal yang sakral dari sanalah kita menciptakan keluarga
yang baik serta harmonis dan dari keluarga yang seperti tersebut akan timbul
keturunan yang cemerlang, sehat jasmani dan rohani, terpuji akhlak dan
perilaku.
Sedangkan
di dalam pasal 28B UUD 1945 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Apakah negara sudah menjunjung atau memberikan hak
yang dijelaskan di atas kepada anak-anak ? Keberhasilan seorang anak memang
berawal dan tanggung jawab keluarganya. Tapi bagi para anak jalanan yang kurang
dipedulikan orang tua atau tidak mempunyai keluarga, itu sudah menjadi
kewajiban negara dalam membimbing, mengasuh, serta melindungi layaknya seorang
ibu kepada anaknya. Anak merupakan generasi calon penerus bangsa yang sudah
harus dipersiapkan sejak dini dan baik agar di masa depan nanti para anak-anak
tersebut dapat mengelola, mengurus, serta menjadikan negara ini lebih baik
daripada sekarang.
Jika
kita melihat perlakuan negara kepada anak-anak jalanan sekarang dimana mereka
yang harusnya bersekolah justru sudah harus bekerja, anak-anak yang sering
menjadi objek pelampiasan, dan perlakuan hukum kepada anak-anak, apakah kita
yakin negara ini di masa depan nanti dapat lebih baik dari sekarang? Tidak ada
kata terlambat untuk memperbaiki semua itu demi terciptanya generasi penerus
bangsa yang akan membawa negara ini ke arah yang lebih baik.
CONTOH KASUS PADA PASAL 28B:
Hukuman
Mati, dan Pemberlakuan Hukum Surut – Amrozi dkk telah di eksekusi mati
oleh pihak kejaksaan. Pro-kontra hukuman mati
telah menimbulkan gejolak khususnya dikalangan masyarakat dan penegak hukum,
karena proses hukum dari penuntutan dengan menggunakan UU No 15 Tahun 2003
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diberlakukan surut terhadap
Amrozi CS hingga vonis hukuman mati bertentangan dengan konstitusi, dimana
berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama hak untuk tidak
diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Bahwa
pada dasarnya ketentuan hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat
(1) bukanlah ketentuan hukum yang bersifat mutlak karena pembatasan-pembatasan
/ pengecualian atas hak tersebut telah diatur dalam pasal 28 J ayat (2), dimana
dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata untuk
menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.
Bahwa
dari ketentuan pasal 28 J ayat (2) dapat kita pahami bahwa hak-hak dasar
sebagaimana diatur dalam pasal 28 I ayat (1) bukanlah bersifat mutlak, karena
secara tegas hak tersebut dapat dibatasi sebagaimana yang diamanatkan oleh
Pasal 28 J ayat (2) dimana pembatasan tersebut harus diatur dalam UU. Bahwa
pembatasan-pembatasan tersebut ternyata selain harus diatur dalam UU juga harus
memenuhi unsur frase untuk memenuhi tuntutan yang adil sesesui dengan
pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam
masyarakat. Frase ini tentu saja sifatnya sangat subjektif, namun menurut
penulis tujuan keadilan tersebut harus di temukan/diwujudkan oleh hakim dengan
memperhatikan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam
masyarakat.
Bahwa
vonis hukuman mati yang selama ini mendapatkan penentangan dengan alasan
bertentangan dengan moral karena akan menimbulkan lingkaran kekerasan yang
tidak berujung dan bertentangan dengan konstitusi ternyata tidak selamanya
tepat, karena hukuman mati dan pelaksanaannya telah diatur oleh Pasal 10 KUHP
yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan UU No. 2 (Pnps) Tahun 1964, sehingga
selama pelaksanaannya diatur berdasarkan undang-undang maka hal tersebut tidak
dapat dianggap melanggar Konstitusi.
Kejahatan-kejahatan
yang menimbulkan kegoncangan dan kerugian bagi masyarakat yang dilakukan
sedemikian rupa dengan terencana, berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan
sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tepat jika dijatuhi hukuman mati,
yang tentu saja harus dibuktikan terlebih dahulu apakah bukti-buktinya kuat,
tidak ada alasan pemaaf dan pembenar, tidak ada rasa penyesalan atas tindakan
tersebut, dan berdasarkan penilaian hakim dengan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban
umum sebagaimana diamanatkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 hal tersebut dapat
dijatuhkan hukuman mati. Sehingga secara yuridis sosiologis, fungsi hakim dalam
memberikan vonis tidak semata-mata didasari pada alasan legalistik, pandangan
etika, moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum juga menjadi
pertimbangan dalam menjatuhkan vonis hukuman mati.
Menurut
penulis frase dalam pasal 28 I ayat (1) yang berbunyi tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun bukan merupakan kaidah hukum berlaku secara mutlak, karena
jiika frase tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dilaksanakan secara
mutlak maka akan menimbulkan rasa ketidak-adilan yang timpang di tengah
masyarakat masyarakat.
Peristiwa
hukum Yunani klasik bisa kita jadikan contoh kasus, dimana karneades seorang
Yunani di jaman kuno, takala kapalnya tenggelam dapat menyelamatkan diri dengan
berpegangan pada sebuah papan yang terapung di air, namun tenyata pada papan
tersebut ada orang lain yang juga sedang berusaha untuk menyelamatkan dirinya
dengan berpegangan dengan papan. Oleh karena papan hanya bisa menampung satu
orang lalu karneades mendorong orang tersebut dari papan, sehingga orang
tersebut meninggal. Atas hal ini penuntut umum pada saat itu membawa perkara
ini ke Pengadilan namun oleh sang Pengadil (hakim) karneades dibebaskan
(dimaafkan) walaupun secara moral hal tersebut tidak dibenarkan.
Jika
kita menggunakan ketentuan Pasal 28 I ayat (1) maka tindakan karneades tidak
dibenarkan dan harus dihukum berat, karena hak untuk hidup yang dimiliki oleh
seseorang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini tentu saja akan
mengugah rasa keadilan yang hidup di masyarakat.
Demikian
hal nya dengan ketentuan seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum tidak
berlaku surut sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) tidak dapat
diberlakukan secara mutlak, hal ini telah dibatasi dengan ketentuan pasal 28 J
ayat (2). Jika kita berpegangan pada Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 KUHP jelas
larangan penuntutan oleh hukum yang berlaku surut tidak secara mutlak, karena
dalam ayat (2) dapat ditafsirkan bila terjadi perubahan maka akan haruslah
dipakai ketentuan yang ringan. Frase ini tentu tidak konsisten dengan
pemberlakukan hukum yang surut.
BAB III
|PENUTUP|
Hak adalah
Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita
sendiri. Sedangkan Kewajiban adalah Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh
rasa tanggung jawab. Kedua harus menyatu, maksudnya dikala hak-hak kita sebagai
warga negara telah didapatkan, maka kita juga harus menenuaikan kewajiban kita
kepada negara seperti: membela negara, ikut andil dalam mengisi kemerdekaan ini
dengan hal-hal yang positif yang bisa memajukan bangsa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar