Rabu, 27 Maret 2013

MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN



PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

|

(PASAL 28B - HAK ASASI MANUSIA)



DISUSUN OLEH :
--FERDIAN SAPUTRA--



FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BEKASI
2013



---------------------------------------------------------------------------------------------









| KATA PENGANTAR |

Puji Syukur Kehadirat Allah Yang Maha Esa, Syukur Alhamdulillah, merupakan satu kata yang sangat pantas penulis ucakan kepada Allah STW, yang karena bimbingan-Nya lah maka penulis bisa menyelesaikan sebuah makalah “Hak dan Kewajiban Warga Negara” yang membahas tentang "Hak Asasi Manusia Pada Pasal 28 B"

Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Saya mengucapkan terimakasih kepada pihak terkait yang telah membantu saya dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.

Saya menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu saya mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan pada mata kuliah ini.



















  BAB I
|PENDAHULUAN|

HAM pada dasarnya adalah hak-hak yang bersifat kodrati. Misalnya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan pekerjaan, hak untuk beribadah, dst. Dengan demikian, HAM adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta.
HAM mencakup 2 jenis hak yang mendasar/fundamental yaitu HAK PERSAMAAN, misalnya hak untuk diperlakukan tanpa diskriminasi, dst.
·          
           HAK KEBEBASAN, misalnya kebebasan untuk beribadah, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, kebebasan untuk berserikat, dsb.
Meskipun merupakan konsep universal, pemahaman tentang HAM bersifat relatif. HAM dipahami secara berbeda-beda karena dipengaruhi oleh ideologi/landasan pemikiran/kebudayaan yang berbeda-beda pula, misalnya sebagai berikut (Abdullah Yazid dkk, 2007):
         Di Indonesia, HAM dianggap sebagai anugerah Tuhan YME, sehingga sumber HAM di Indonesia adalah Tuhan YME. Hal itu karena menurut ideologi kita (Pancasila) Tuhan adalah penyebab pertama (kausa prima), sehingga kehidupan manusia dan segala aspeknya, termasuk HAM, bersumber pada Tuhan.



         Di Eropa Barat, HAM lebih dianggap sebagai masalah kebutuhan individu di mana penegakkan HAMadalah untuk melindungi individu.



·         Di Rusia (negara sosialis), HAM dianggap sebagai pemberian negara di mana negaralah yang menetapkan apa-apa yang menjadi hak dari warga negara, sehingga HAM di sana berarti pembatasan HAM oleh pemerintah. Karena tujuan di negara sosialis adalah kesejahteraan ekonomi maka HAM bukan persoalan pokok.






BAB II
|PEMBAHASAN|
|HAK ASASI MANUSIA – PASAL 28 B|

Pasal 28 UUD 1945 merupakan pasal yang membahas atau menekankan tentang hak-hak manusia secara umum dan hak warga negara secara umum. Di dalam pasal 28B ayat 1 dijelaskan bahwa tiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah dimaksud adalah perkawinan sesuai hukum agama dan negara.

Bila dalam agama (Islam), perkawinan yang sah adalah perkawinan yang telah disetujui oleh mempelai pria dan wanita beserta keluarganya, ada saksi, ada wali, penghulu. Sedangkan bila ditinjau dari segi hukum negara, perkawinan telah sah jika telah sesuai dengan aturan agama ditambah telah dicatat di KUA setempat.

Saat ini sedang ramai tentang RUU Perkawinan yang salah satunya akan mempidanakan para pelaku nikah siri. Ini tentu menjadi polemik karena akan terjadi benturan antara aturan agama dan negara. Di sisi agama, nikah siri diperbolehkan demi menjauhkan perbuatan selingkuh atau zina.  Karena dalam Al-Qur’an dan sunnah tidak ada kewajiban melaporkan perkawinan kepada seorang pejabat. Yang wajib dalam islam adalah menyiarkan perkawinan kepada masyarakat umum, bukan melaporkan secara khusus kepada seorang pejabat. Tentu RUU Perkawinan yang bakal mempidanakan para pelaku nikah siri akan mendapat banyak kecaman oleh banyak masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Walaupun tidak banyak juga masyarakat yang mendukung disahkan RUU tersebut dengan alasan untuk menghargai atau menjaga perasaan bila seorang suami atau istri mengetahui pasangannya telah melakukan nikah siri. RUU Perkawinan tersebut juga dibuat sebenarnya demi menjaga salah satu hak-hak warga negara yaitu memperoleh ketenangan dan ketentraman dalam hidupnya. Karena perasaan seorang suami atau istri pasti akan sakit jika mengetahui pasangannya telah melakukan nikah siri.

Itu ditambah dengan anak yang lahir dari hubungan nikah siri yang akan kesulitan dalam mengurus segala macam administrasi karena kita ketahui anak yang lahir dari hubungan nikah siri tidak mendapatkan akta kelahiran. Kita sebagai warga negara yang baik dan taat hukum baik negara maupun agama hendaknya melakukan perkawinan yang sesuai dengan aturan agama (Islam) dan aturan negara. Perkawinan merupakan hal yang sakral dari sanalah kita menciptakan keluarga yang baik serta harmonis dan dari keluarga yang seperti tersebut akan timbul keturunan yang cemerlang, sehat jasmani dan rohani, terpuji akhlak dan perilaku.

Sedangkan di dalam pasal 28B UUD 1945 ayat 2 dijelaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Apakah negara sudah menjunjung atau memberikan hak yang dijelaskan di atas kepada anak-anak ? Keberhasilan seorang anak memang berawal dan tanggung jawab keluarganya. Tapi bagi para anak jalanan yang kurang dipedulikan orang tua atau tidak mempunyai keluarga, itu sudah menjadi kewajiban negara dalam membimbing, mengasuh, serta melindungi layaknya seorang ibu kepada anaknya. Anak merupakan generasi calon penerus bangsa yang sudah harus dipersiapkan sejak dini dan baik agar di masa depan nanti para anak-anak tersebut dapat mengelola, mengurus, serta menjadikan negara ini lebih baik daripada sekarang.

Jika kita melihat perlakuan negara kepada anak-anak jalanan sekarang dimana mereka yang harusnya bersekolah justru sudah harus bekerja, anak-anak yang sering menjadi objek pelampiasan, dan perlakuan hukum kepada anak-anak, apakah kita yakin negara ini di masa depan nanti dapat lebih baik dari sekarang? Tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki semua itu demi terciptanya generasi penerus bangsa yang akan membawa negara ini ke arah yang lebih baik.






CONTOH KASUS PADA PASAL 28B:

Hukuman Mati, dan Pemberlakuan Hukum  Surut – Amrozi dkk telah di eksekusi mati oleh pihak kejaksaan. Pro-kontra hukuman mati telah menimbulkan gejolak khususnya dikalangan masyarakat dan penegak hukum, karena proses hukum dari penuntutan dengan menggunakan UU No 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang diberlakukan surut terhadap Amrozi CS hingga vonis hukuman mati bertentangan dengan konstitusi, dimana berdasarkan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

Bahwa pada dasarnya ketentuan hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) bukanlah ketentuan hukum yang bersifat mutlak karena pembatasan-pembatasan / pengecualian atas hak tersebut telah diatur dalam pasal 28 J ayat (2), dimana dalam menjalankan hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis.

Bahwa dari ketentuan pasal 28 J ayat (2) dapat kita pahami bahwa hak-hak dasar sebagaimana diatur dalam pasal 28 I ayat (1) bukanlah bersifat mutlak, karena secara tegas hak tersebut dapat dibatasi sebagaimana yang diamanatkan oleh Pasal 28 J ayat (2) dimana pembatasan tersebut harus diatur dalam UU. Bahwa pembatasan-pembatasan tersebut ternyata selain harus diatur dalam UU juga harus memenuhi unsur frase untuk memenuhi tuntutan yang adil sesesui dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat. Frase ini tentu saja sifatnya sangat subjektif, namun menurut penulis tujuan keadilan tersebut harus di temukan/diwujudkan oleh hakim dengan memperhatikan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum dalam masyarakat.

Bahwa vonis hukuman mati yang selama ini mendapatkan penentangan dengan alasan bertentangan dengan moral karena akan menimbulkan lingkaran kekerasan yang tidak berujung dan bertentangan dengan konstitusi ternyata tidak selamanya tepat, karena hukuman mati dan pelaksanaannya telah diatur oleh Pasal 10 KUHP yang pelaksanaannya dilakukan berdasarkan UU No. 2 (Pnps) Tahun 1964, sehingga selama pelaksanaannya diatur berdasarkan undang-undang maka hal tersebut tidak dapat dianggap melanggar Konstitusi.

Kejahatan-kejahatan yang menimbulkan kegoncangan dan kerugian bagi masyarakat yang dilakukan sedemikian rupa dengan terencana, berdasarkan sifatnya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan adalah tepat jika dijatuhi hukuman mati, yang tentu saja harus dibuktikan terlebih dahulu apakah bukti-buktinya kuat, tidak ada alasan pemaaf dan pembenar, tidak ada rasa penyesalan atas tindakan tersebut, dan berdasarkan penilaian hakim dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum sebagaimana diamanatkan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 hal tersebut dapat dijatuhkan hukuman mati. Sehingga secara yuridis sosiologis, fungsi hakim dalam memberikan vonis tidak semata-mata didasari pada alasan legalistik, pandangan etika, moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum juga menjadi pertimbangan dalam menjatuhkan vonis hukuman mati.

Menurut penulis frase dalam pasal 28 I ayat (1) yang berbunyi tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun bukan merupakan kaidah hukum berlaku secara mutlak, karena jiika frase tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dilaksanakan secara mutlak maka akan menimbulkan rasa ketidak-adilan yang timpang di tengah masyarakat masyarakat.

Peristiwa hukum Yunani klasik bisa kita jadikan contoh kasus, dimana karneades seorang Yunani di jaman kuno, takala kapalnya tenggelam dapat menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan yang terapung di air, namun tenyata pada papan tersebut ada orang lain yang juga sedang berusaha untuk menyelamatkan dirinya dengan berpegangan dengan papan. Oleh karena papan hanya bisa menampung satu orang lalu karneades mendorong orang tersebut dari papan, sehingga orang tersebut meninggal. Atas hal ini penuntut umum pada saat itu membawa perkara ini ke Pengadilan namun oleh sang Pengadil (hakim) karneades dibebaskan (dimaafkan) walaupun secara moral hal tersebut tidak dibenarkan.

Jika kita menggunakan ketentuan Pasal 28 I ayat (1) maka tindakan karneades tidak dibenarkan dan harus dihukum berat, karena hak untuk hidup yang dimiliki oleh seseorang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Hal ini tentu saja akan mengugah rasa keadilan yang hidup di masyarakat.

Demikian hal nya dengan ketentuan seseorang tidak dapat dituntut atas dasar hukum tidak berlaku surut sebagaimana diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) tidak dapat diberlakukan secara mutlak, hal ini telah dibatasi dengan ketentuan pasal 28 J ayat (2). Jika kita berpegangan pada Pasal 1 ayat 1 dan ayat 2 KUHP jelas larangan penuntutan oleh hukum yang berlaku surut tidak secara mutlak, karena dalam ayat (2) dapat ditafsirkan bila terjadi perubahan maka akan haruslah dipakai ketentuan yang ringan. Frase ini tentu tidak konsisten dengan pemberlakukan hukum yang surut.




                                                                      

                                                                          BAB III
|PENUTUP|

Hak adalah Sesuatu yang mutlak menjadi milik kita dan penggunaannya tergantung kepada kita sendiri. Sedangkan Kewajiban adalah Sesuatu yang harus dilakukan dengan penuh rasa tanggung jawab. Kedua harus menyatu, maksudnya dikala hak-hak kita sebagai warga negara telah didapatkan, maka kita juga harus menenuaikan kewajiban kita kepada negara seperti: membela negara, ikut andil dalam mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif yang bisa memajukan bangsa ini.